Skip to content

Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Dokumen Hukum

March 26, 2010

Dengan berlakunya Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, banyak sekali di antara berbagai kalangan, khususnya di kalangan ahli hukum yang mengkhawatirkan bunti ketentuan Pasal 31 dari undang-undang tersebut.

Pasal 31 dari Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tersebut berbunyi:

(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

Bunyi Pasal ini rupanya sangat menakutkan kalangan profesi hukum dan klien-kliem mereka dari dunia usaha, karena semuanya menafsirkan bahwa semua perjanjian atau dokumen hukum yang akan mereka buat dan tanda-tangani harus berbahasa Indonesia, atau setidak-tidaknya dalam 2 (dua) bahasa, bila tidak maka perjanjian tersebut dapat dianggap melanggar ketentuan undang-undang dan, oleh karenanya, sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie, Staatsblad 1847-23) menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau void by operation of law atau void ab initio) karena tidak memenuhi kriterium kausa yang halal (geoorloofde oorzaak).

Bagi seorang penterjemah (tersumpah), hal ini tentunya menguntungkan dari segi finansial, karena berbondong-bondong akan datang pekerjaan untuk menterjemahkan dokumen yang konsep (draft) awalnya tertulis dalam bahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia.

Penafsiran Yuridis Pasal 31 Undang-undang No. 24 Tahun 2009

Menurut pandangan saya sebagai seorang jurist, bunyi Pasal 31 dari Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tersebut tidaklah se-mengerikan yang dianggap kebanyakan orang.

Memang, Pasal tersebut tidak memuat aturan mengenai sanksi dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuannya, akan tetapi tetap dapat ditafsirkan sebagai melanggar prinsip kausa yang halal yang harus ada dalam suatu perjanjian. Akan tetapi, dalam memahami Pasal ini, seorang jurist hendaknya memperhatikan pentingnya penerapan teori interpretasi yang (seyogyanya) senantiasa diajarkan di setiap fakultas hukum dalam memahami bunyi ketentuan peraturan perundang-undangan:

Teori interpretasi tersebut terdiri dari:

  • interpretasi gramatikal;
  • interpretasi historikal;
  • interpretasi antisipatif; dan
  • interpretasi komparatif.

Berdasarkan keempat teori interpretasi tersebut, maka Pasal 31 dari Undang-undang No. 24 Tahun 2009 harus ditafsirkan secara gramatikal (dari segi tata bahasa yang dipergunakan dalam Pasal tersebut), secara historikal (sejarah lahirnya Pasal tersebut), secara antisipatif (dari segi apa yang ingin dicapai oleh pembentuk undang-undang), dan secara komparatif (dengan jalan membandingkannya dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya).

Penafsiran Gramatikal

Secara gramatikal, perumusan kalimat dalam Pasal 31 Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tersebut sudah sangat jelas sehingga tidak dapat ditafsirkan lain. Suatu kewajiban tidak dapat dihindari. Dengan demikian, setiap nota kesepahaman dan/atau perjanjian yang melibatkan embaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia harus ditulis dalam Bahasa Indonesia, dengan tidak menutup kemungkinan bahwa para pihak dalam nota kesepahaman/perjanjian tersebut menulisnya dalam 2 (dua) atau lebih bahasa nasional pihak lain dalam nota kesepahaman/perjanjian.

Apakah metode interpretasi gramatikal ini menjawab pokok permasalahan? Rupanya belum, karena dengan adanya lebih dari satu bahasa dalam suatu naskah hukum, maka dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda akan makna yang sebenarnya terkandung di dalamnya.

Ada yang mengusulkan agar menetapkan saja suatu klausula mengenai bahasa yang berlaku bagi penafsiran seluruh isi nota kesepahaman/perjanjian.

Bilamana pihak dalam nota kesepahaman/perjanjian tersebut adalah lembaga negara dan/atau instansi pemerintah Republik Indonesia, mengingat nota kesepahaman/perjanjian tersebut wajib ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan tidak mengurangi hak para pihak untuk menuliskan bahasa asing yang dipergunakan oleh pihak negara lain, mengingat nota kesepahaman/perjanjian tersebut pada hakikatnya adalah suatu G-to-G (sovereign) contract, tentunya tidak mudah untuk mengatakan bahasa mana yang berlaku untuk penafsiran seluruh isi nota kesepahaman/perjanjian. Sebagai contoh di Uni Eropa, seluruh primary legislations ditulis dalam bahasa masing-masing negara anggota Uni Eropa dan mempunyai kekuatan yang sama. Mahkamah Eropa (European Court of Justice) yang berkedudukan di Luxembourg menggunakan Bahasa Perancis sebagai bahasa resmi persidangan.

Bagi kalangan swasta, masalah ini dapat diatasi secara mudah dengan menetapkan apa yang disebut governing language atau dengan mengatur suatu klausula applicable language for interpretation of the agreement, sehingga bilamana timbul sengketa yang terbit dari atau sehubungan dengan nota kesepahaman/perjanjian tersebut, maka sebatas pada nota ksepehaman/perjanjian tersebut, bahasa yang berlaku bagi penafsiran seluruh isi perjanjian adalah bahasa yang telah disepakati oleh para pihak di dalamnya.

Hal tersebut akan menjadi lebih mudah bilamana penyelesaian sengketa dilakukan dalam forum penyelesaian sengketa di suatu negara yang bahasa nasional atau bahasa resminya adalah bahasa yang disepakati sebagai bahasa yang berlaku untuk penafsiran seluruh isi nota kesepahaman/perjanjian tersebut, dan bilamana yang melakukan pemeriksaan, menghakimi, mengadili dan memutus adalah orang-orang yang bahasa ibunya adalah bahasa yang disepakati sebagai bahasa yang berlaku untuk penafsiran seluruh isi nota kesepahaman/perjanjian tersebut.

Masalah akan timbul dalam hal sengketa sudah diputus oleh pengadilan asing dan akan dilaksanakan di Indonesia. Indonesia yang tidak terikat dalam suatu mutualisme berdasarkan hukum internasional mengenai pelaksanaan putusan pengadilan asing yang bersifat condemnatoir (vide Pasal 22a Algemene Bepalingen van Wetsgeving voor Indonesie, Staatsblad 1847-23), mewajibkan hakim Indonesia untuk memeriksa, menghakimi, mengadili dan memutus kembali sengketanya menurut tata cara hukum acara perdata Indonesia.

Jika demikian, versi mana yang akan diperhatikan oleh hakim warga negara Indonesia asli yang bahasa ibunya adalah Bahasa Indonesia dalam memeriksa, menghakimi, mengadili dan memutus sengketa yang terbit dari atau sehubungan dengan nota kesepahaman/perjanjian tersebut, sepanjang berkenaan dengan penafsiran nota kesepahaman/perjanjian tersebut? Tentunya akan lebih mudah bagi hakim tersebut bilamana ia membaca versi Bahasa Indonesia dari nota kesepahaman/perjanjian tersebut. Akan tetapi belum tentu apa yang tertulis dalam versi Bahasa Indonesia memiliki arti/makna yang sama persis dengan yang tertulis dalam versi bahasa asingnya, sedangkan mungkin yang berlaku untuk penafsiran seluruh isi nota kesepahaman/perjanjian berdasarkan kesepakatan para pihak  adalah bahasa asing. Menjadi lebih parah lagi bilaman (i) hakim tersebut sama sekali tidak atau kurang menguasai bahasa asing yang bersangkutan dan (ii) versi bahasa Indonesia yang dipersiapkan oleh penterjemahnya juga tidak memadai, karena faktor-faktor berikut: (a) perbedaan kultur, (b) perbedaan budaya hukum [misalnya Common Law vs Civil Law], (c) penterjemah yang mempersiapkan versi Bahasa Indonesia-nya tidak memahami hukumnya, (d) penterjemah yang mempersiapkan versi Bahasa Indonesia-nya sangat memahami hukumnya, karena yang bersangkutan sendiri adalah seorang jurist, akan tetapi tidak menguasai tata bahasa, karena yang bersangkutan bukan ahli bahasa.

Dengan demikian, mau tidak mau, perhatian kita harus kita alihkan pada teori interpretasi yang kedua, yaitu:

Penafsiran Historikal

Dari latar belakang sejarahnya, lahirnya Pasal 31 Undang-undang No. 24 Tahun 2009 ini dan khususnya Undang-undang ini sendiri didasari pada semangat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 (vide Pasal 25 ayat 1 Undang-undang No. 24 Tahun 2009), karena Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara [garis bawah secara tegas oleh Blogger]. Pasal ini berbunyi sebagai berikut:

(1) Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa.
(2) Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.
(3) Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tujuan dari (kewajiban) penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara dalam setiap nota kesepahaman/perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia, baik pemerintah/negara maupun swasta, berfungsi untuk menunjukkan kebanggaan akan jati diri bangsa.

Kebanggaan akan jati diri bangsa adalah pilihan, bukan keharusan, walaupun penggunaan bahasa yang menunjukkan jati diri bangsa tersebut adalah wajib. Seseorang tidak dapat dihukum karena ia lebih banyak menggunakan bahasa asing daripada bahasanya sendiri, apalagi bilamana ia dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan yang (mungkin) berasal dari negara lain dan dengan pola pikir dan budaya bangsa lain.

Dari metode penafsiran historikal ini, kita dapat mengetahui mengapa Bahasa Indonesia wajib dipergunakan dalam nota kesepahaman/perjanjian, yaitu karena kenyataan sejarah yang menghendaki penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di atas bahasa-bahasa daerah yang bukan merupakan jati diri seluruh bangsa; dan menolak penggunaan Bahasa Belanda, karena itu bukan jati diri bangsa. Oleh karenanya, setelah kita merdeka dari kolonialisme bangsa Belanda dan Jepang, mengapa kita beralih pada bahasa negara lain lagi dan tidak menggunakan Bahasa Indonesia yang merupakan cerminan jati diri bangsa? Demikianlah kira-kira maksud pembentuk undang-undang.

Apakah hal itu sudah cukup menjawab pokok permasalahan? Jika belum, mari kita lihat teori interpretasi yang ketiga sebagai berikut:

Penafsiran Antisipatif

Tujuan kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dapat dilihat dari Pasal 44 Undang-undang No. 24 Tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut, khususnya ayat 1 dan 2:

(1) Pemerintah meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.
(2) Peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Kita melihat ambisi yang positif dari para pembentuk undang-undang untuk meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, mengingat jumlah penutur Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara dari Sabang sampai Merauke berjumlah lebih daripada 200 juta. Internasionalisme yang ingin dicapai oleh pembentuk undang-undang tersebut diejawantahkan dalam Pasal 32 dari Undang-undang No. 24 Tahun 2009 berbunyi yang sebagai berikut:

(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia.
(2) Bahasa Indonesia dapat digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri.

[Catatan: perhatikan penebalan dan garis bawah pada kata “di” dalam kedua ayat tersebut di atas oleh Blogger]

Dari bunyi ketentuan Pasal 44 juncto Pasal 32 Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tersebut dapat diketahui dengan jelas bahwa pada hakekatnya kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam nota kesepahaman/perjanjian (Pasal 31 Undang-undang No. 24 Tahun 2009) hanya berlaku DI Indonesia, artinya bilamana naskah nota kesepahaman/perjanjian tersebut akan dipergunakan untuk suatu tujuan tertentu DI Indonesia.

Oleh karenanya, dapat menjadi lebih jelas bahwa penggunaan Bahasa Indonesia adalah wajib dilakukan dalam nota kesepahaman/perjanjian yang akan dipergunakan untuk suatu tujuan tertentu DI Indonesia, dan dengan demikian kita harus memperhatikan tujuan penggunaan naskah nota kesepahaman/perjanjian tersebut DI Indonesia sebagaimana dijabarkan sekaligus dengan menbahas teori interpretasi yang terakhir, yaitu:

Penafsiran Komparatif

Penafsiran komparatif dilakukan dengan jalan menafsirkan bunyi ketentuan suatu (pasal) peraturan perundang-undangan, setelah memahami arti/makna secara gramatikal dan latar belakang sejarah serta maksud dan tujuan pembuatnya, dengan membandingkannya dengan peraturan perundang-undangan lain atau membandingkannya dengan aturan yang sama dan setara di negara lain. Untuk tujuan posting ini, Blogger cukup melakukan perbandingannya dengan peraturan perundang-undangan lain di Indonesia.

A. Untuk keperluan pembuktian (pembuktian adalah cara meyakinkan hakim – vide Prof. Subekti dalam Hukum Pembuktian), setiap dokumen yang akan diajukan sebagai bukti harus disertai terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, karena forum pengadilan di Indonesia tidak memiliki sifat internasional.

B. Pasal 4 ayat 2 dari Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba mewajibkan perjanjian waralaba yang ditulis dalam bahasa asing (dan akan didaftarkan pada Departemen Perdagangan republik Indonesia) diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

C. Seluruh permohonan pendaftaran hak atas kekayaan intelektual/industrial menurut peraturan perundang-undangan di bidang hak atas kekayaan intelektual, harus menggunakan Bahasa Indonesia. Dengan demikian, sekalipun tidak diatur secara tegas), perjanjian lisensi yang wajib didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, agar memiliki akibat terhadap pihak ketiga, sudah seyogyanya ditulis/diterjemahkan (ke) dalam Bahasa Indonesia.

D. Akta otentik (Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan oleh undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu DI tempat DI mana akta itu dibuatnya (misalnya notaris, pejabat pembuat akta tanah, juru sita, juru lelang, pejabat catatan sipil, pejabat pengadilan dan sebagainya). Bandingkan penebalan dan garis bawah pada kata “di” dengan penebalan dan garis bawah pada kata “di” pada Pasal 32 Undang-undang No. 24 Tahun 2009.

E. Hukum Surat Berharga.

Pasal 100 angka 1 dari Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel voor Indonesie, Staatsblad 1847-23) berbunyi: De wisselbrief behelst de benaming “wisselbrief”, opgenomen in de tekst zelf an uitgedrukt in de taal, waarin de titel is gesteld. Terjemahan yang benar untuk Pasal ini adalah: Surat wesel memuat penyebutan kata “surat wesel”, yang ditulis dalam naskahnya sendiri dan dinyatakan dalam bahasa DI mana alas hak surat wesel tersebut dilaksanakan.

Pasal 174 angka 1 dari Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel voor Indonesie, Staatsblad 1847-23) berbunyi: De orderbrief behelst de benaming “orderbrief”, opgenomen in de tekst zelf an uitgedrukt in de taal, waarin de titel is gesteld. Terjemahan yang benar untuk Pasal ini adalah: Surat sanggup memuat penyebutan kata “surat sanggup”, yang ditulis dalam naskahnya sendiri dan dinyatakan dalam bahasa DI mana alas hak surat sanggup tersebut dilaksanakan.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa penggunaan Bahasa Indonesia dalam nota kesepahaman/perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia adalah wajib bilamana naskahnya akan dipergunakan DI Indonesia untuk tujuan tertentu, karena penggunaan Bahasa Indonesia DI Indonesia menunjukkan jati diri bangsa Indonesia.

Perjanjian rahasia dagang, yang menurut sifat alamiahnya (uiteraard) yang rahasia tidak ada kaitannya dengan pihak ketiga manapun (bandingkan dengan Pasal 1340 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) dan, oleh karena sifat rahasianya, seyogyanya tidak dibuat dalam akta otentik ataupun didaftarkan pada instansi manapun, tidak harus ditulis dalam Bahasa Indonesia.

Demikian sekilas catatan kami, baik dalam kapasitas sebagai jurist maupun sebagai linguist.

Prahasto W. Pamungkas © 2010

2 Comments
  1. margaretha permalink

    artikel yang sangat menarik,Pak, kalau boleh saya tahu, di dalam UU kita kan tdk mengatur mengenai tulisan bapak di atas : ” setiap dokumen yang akan diajukan sebagai bukti harus disertai terjemahannya dalam Bahasa Indonesia,” mohon dijelaskan pak, dimana dasar hukum ketentuan tersebut.trims

    • Apakah undang-undang dibuat harus dengan kata-kata yang tegas? Pasal 31 dan khusunya Pasal 32 UU No. 24/2009 mengatur bahwa semua dokumen yang akan dipergunakan DI Indonesia harus berbahasa Indonesia. Tentu saja Pengadilan DI Indonesia adalah pengadilan Indonesia yang bahasa pengantarnya adalah Bahasa Indonesia. Tidakkah dari bunyi ketentuan Pasal 32 UU No. 24/2009 tersebut sudah sangat jelas bahwa semua dokumen yang akan dipergunakan (sebagai bukti) DI Pengadilan DI Indonesia harus berbahasa Indonesia???

Leave a comment