Skip to content

MERENUNGKAN KEMBALI AJARAN BARON DE MONTESQUIEU: DÉPENS ET SÉPARATION DES POUVOIRS

March 31, 2010

Sebenarnya ini adalah makalah lama yang pernah dipergunakan sebagai bahan diskusi di Ruang Rapat Sekretariat Jenderal Badan Pengawas Keuangan Republik Indonesia pada bulan Juni 2008 saat membahas suatu hal yang sangat menghebohkan saat itu, mengenai apakah biaya perkara pengadilan termasuk keuangan negara yang harus diaudit oleh Badan Pengawas Keuangan Republik Indonesia.

Biaya Perkara Peradilan dan Keuangan Negara dalam Hukum:

Merenungkan Kembali Ajaran Montesquieu

Oleh: Prahasto W. Pamungkas SH LL.M MCIArb FCIL

I.             Pendahuluan

Dua thema sentral dari makalah ini, yaitu: (1) biaya perkara peradilan dan (2) keuangan negara akan dikaji dari 2 (dua) sudut pandang, yaitu (a) sudut pandang normatif legalistis dan (b) sudut pandang filosofis historis.

Maksud dari pola kajian dari 2 (dua) sudut pandang adalah sebagai berikut:

1.             Dalam melakukan kajian hukum akan sesuatu hal atau permasalahan, maka ketentuan hukum positif harus digunakan sebagai pisau analisis yang bersifat normatif legalistis; artinya, kajian hukum harus dilakukan atas dasar ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dengan memperhatikan (i) sumber-sumber hukum, (ii) hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

2.            Kajian terhadap latar belakang filosofis dan historis dari ketentuan hukum positif tersebut dalam angka 1 di atas, yang akan dipergunakan dalam melakukan kajian terhadap kedua thema sentral di atas tidak dapat dihindari harus dipergunakan sebagai pisau analisis kedua, akan tetapi harus diletakkan pada posisi yang lebih tinggi daripada pisau analisis yang disebut pertama kali di atas, karena hukum positif yang akan dianalisis dirumuskan, dibentuk, diundangkan dan disahkan karena adanya kajian filosofis historis yang ada terlebih dahulu.

Sekalipun judul makalah ini didahului dengan “biaya perkara peradilan” dan kemudian baru disusul oleh “keuangan negara”, akan tetapi sesuai dengan pokok permasalahan yang ada, pembahasan akan dimulai dengan analisis terhadap “keuangan negara” yang kemudian disusul oleh analisis terhadap “biaya perkara peradilan”. Sesuai dengan maksud dari pola kajian sebagaimana tersebut di atas, analisis dari masing-masing pembahasan akan didahului oleh kajian filosofis dan historis, baru disusul oleh kajian normatif legalistisnya.

II.            Keuangan Negara

Keuangan negara dan ketentuan hukum yang mengaturnya tidak pernah, tidak akan dan tidak boleh dilepaskan dari kehidupan bernegara dan sistem ketata-negaraan, karena keuangan negara berkaitan erat dengan hak-hak dan kepentingan SELURUH rakyat TANPA terkecuali, bukan kepentingan individu-individu yang tidak mewakili kepentingan SELURUH rakyat.

Uraian mengenai ajaran Trias Politica sebagaimana tersebut di bawah ini akan menjelaskan bahwa hak-hak dan kepentingan SELURUH rakyat TANPA terkecuali (i) diatur dan ditetapkan dalam dan oleh undang-undang (juga undang-undang dasar atau konstitusi) yang dibentuk oleh kekuasaan legislatif, (ii) dijamin oleh pelaksana kekuasaan eksekutif, yaitu pemerintah, yang harus memberikan jaminan keamanan kepada SELURUH rakyat TANPA terkecuali, dan (iii) jika ada individu atau sekelompok orang saja yang TIDAK mewakili hak-hak dan kepentingan SELURUH rakyat TANPA terkecuali menghadapi masalah dengan individu atau sekelompok orang lain karena merasa hak atau kepentingannya dilanggar, maka ia atau mereka boleh mengajukan masalahnya untuk diselesaikan oleh pelaksana kekuasaan kehakiman.

Dalam Laporan Penelitian yang dilakukan atas dasar kerjasama antara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, 2005 yang berjudul “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”, dengan kata pengantar yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie SH, disebutkan bahwa sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut dan dijalankan atas dasar ajaran Trias Politica.

Ajaran Trias Politica[1] (séparation de pouvoirs) untuk pertama kalinya disampaikan oleh Charles-Louis de Secondat, Baron de la Brède et de Montesquieu (“Montesquieu”) dalam suatu karya tulis yang disusunnya selama kurang lebih 20 (duapuluh) tahun, sebagai hasil dari penelitian, pengamatan dan pemikiran yang sangat panjang, melelahkan dan menuntut kesabaran, yaitu “De l’Esprit des Lois”.

Dalam Laporan Penelitian tersebut di atas, Peneliti menegaskan bahwa dalam ajaran Trias Politica, apakah itu dipandang sebagai suatu ajaran mengenai pemisahan kekuasaan negara ataukah sebagai suatu ajaran mengenai pembagian kekuasaan negara, prinsip yang harus dipegang ialah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif. Maksud dari prinsip ini, lanjut Peneliti dalam Laporan Penelitiannya adalah agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia.

Ajaran Trias Politica menurut cara pandang modern sebagaimana Laporan Penelitian memisahkan dan membagi kekuasaan negara dalam 3 (tiga) kategori, yaitu (i) kekuasaan legislatif atau kekuasaan pembentuk undang-undang, (ii) kekuasaan eksekutif atau kekuasaan pelaksana undang-undang dan (iii) kekuasaan yudikatif atau kekuasaan penilai apakah undang-undang telah dilaksanakan dengan semestinya oleh pihak-pihak yang terhadapnya, untuk kepentingannya atau atas beban kewajiban yang harus dipenuhinya undang-undang tersebut dibuat. Oleh karenanya, dalam Laporan Penelitian tersebut ditegaskan bahwa ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak boleh melampau batas kewenangan masing-masing yang telah diberikan oleh konstitusi.

II.A.        Ajaran Trias Politica

Ajaran Trias Politica dimuat dalam karya Baron de Montesquieu, yang disusunnya selama 20 (duapuluh) tahun, dalam bukunya, De l’Esprit des Lois. Ajaran Trias Politica dalam sistem ketatanegaraan modern terdapat dalam Livre XI, yang berjudul “Des lois qui forment la liberté politique, dans son rapport avec la constitution”, Chapitre VI: De la constitution d’Angleterre, yang berbunyi:

Il y a dans chaque État, trois sortes de pouvoirs : la puissance législative, la puissance exécutrice des choses qui dépendent du droit des gens, & la puissance exécutrice de celles qui dépendent du droit civil.

Par la première, le prince ou le magistrat fait des lois pour un temps ou pour toujours, & corrige ou abroge celles qui sont faites. Par la seconde, il fait la paix ou la guerre, envoie ou reçoit des ambassades, établit la sûreté, prévient les invasions. Par la troisième, il punit les crimes, ou juge les différends des particuliers. On appellera cette dernière la puissance de juger, et l’autre, simplement la puissance exécutrice de l’État.

La liberté politique, dans un citoyen est cette tranquillité d’esprit qui provient de l’opinion que chacun a de sa sûreté : et, pour qu’on ait cette liberté, il faut que le gouvernement soit tel, qu’un citoyen ne puisse pas craindre un autre citoyen.

Lorsque, dans la même personne ou dans le même corps de magistrature, la puissance législative est réunie à la puissance exécutrice, il n’y a point de liberté ; parce qu’on peut craindre que le même monarque ou le même sénat ne fasse des lois tyranniques, pour les exécuter tyranniquement.

Il n’y a point encore de liberté, si la puissance de juger n’est pas séparée de la puissance législative & de l’exécutrice. Si elle était jointe à la puissance législative, le pourvoir sur la vie et la liberté des citoyens serait arbitraire : car le juge serait législateur. Si elle était jointe à la puissance exécutrice, le juge pourrait avoir la force d’un oppresseur.

Tout serait perdu si le même homme, ou le même corps des principaux, ou des nobles, ou du peuple, exerçaient ces trois pouvoirs : celui de faire des lois, celui d’exécuter les résolutions publiques, & celui de juger les crimes ou les différends des particuliers.

Dans la plupart des royaumes de l’Europe, le gouvernement est modéré ; parce que le prince, qui a les deux premiers pouvoirs, laisse à ses sujets l’exercice du troisième. Chez les Turcs, où ces trois pouvoirs sont réunis sur la tête du sultan, il règne un affreux despotisme.

Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia (oleh Penulis) adalah sebagai berikut:

Dalam setiap negara ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif, kekuasaan pelaksana undan-undang yang tergantung pada hak asasi manusia dan kekuasaan pelaksana undang-undang yang tergantung pada hukum kemasyarakatan.

Kekuasaan yang pertama, pemimpin atau magistrat membentuk undang-undang untuk suatu waktu dan selalu serta mengkoreksi atau membatalkan tindakan pembentukan undang-undang tersebut. Kekuasaan yang kedua dilaksanakan dengan menandatangani perdamaian, menyatakan perang, mengirim dan menerima duta-duta besar, memberikan keamanan, menyatakan invasi. Kekuasaan yang ketiga dilaksanakan dengan menghukum tindakan pidana, mengadili perbedaan-perbedaan atau perselisihan-perselisihan di antara orang-orang swasta. Orang menyebut kekuasaan yang ketiga ini sebagai Kekuasaan Kehakiman, atau dengan kata lain, penyederhanaan dari kekuasaan pelaksana undang-undang dari negara.

Kebebasan berpolitik dalam kewarganegaraan adalah kedamaian atau ketenangan dari semangat (spirit) yang memberikan pendapat masing-masing dijamin keamanannya: dan agar seseorang memiliki kebebasan tersebut, hanya pemerintah yang menjaminnya bahwa seseorang tidak takut terhadap warga negara lainnya.

Ketika dalam diri orang yang sama atau dalam tubuh magistrat yang sama, kekuasaan legislatif dikumpulkan kembali pada kekuasaan eksekutif, tidak ada lagi kebebasan, karena orang dapat menjadi takut bahwa monarki sendiri atau senat sendiri membentuk undang-undang yang bersifat tirani untuk dilaksanakannya secara tirani.

Tidak ada lagi kebebasan jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Jika kekuasaan kehakiman bergabung dengan kekuasaan legislatif, kekuasaan atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan menjadi tidak jelas, karena hakim akan menjadi pembentuk undang-undang. Jika kekuasaan kehakiman bergabung dengan kekuasaan eksekutif, hakim dapat memiliki kekuasaan yang menindas.

Segala sesuatunya akan hilang jika satu orang saja, atau satu badan pemerintahan saja, atau kaum feodal, atau banyak (sekelompok) orang menjalankan ketiga kekuasaan ini: dengan jalan membentuk undang-undang, melaksanakan keputusan-keputusan publik dan menghakimi kejahatan atau mengadili perselisihan di antara orang-orang swasta.

Pada kebanyakan kerajaan-kerajaan Eropa, pemerintahan sangat moderat, karena raja memiliki dua kekuasaan yang pertama dan membiarkan rakyatnya menjalankan kekuasaan yang ketiga. Di Turki, di mana ketiga kekuasaan tersebut dikumpulkan di atas kepala sultan, ia memerintah dengan sangat diktatorial dan sewenang-wenang.

Penerapan ajaran Trias Politica menemukan bentuknya yang semakin beraneka-ragam di abad XX dan awal abad XXI ini. Dari seluruh negara anggota Uni Eropa, hanya Finlandia, yang terkenal sebagai negara yang paling bersih dari korupsi di seluruh dunia, dan Negeri Belanda, salah satu negara termakmur dan paling sejahtera di seluruh dunia, saja yang menerapkan ajaran Trias Politica secara murni dan penuh sehingga dalam konstitusinya tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi maupun Peradilan Tata Usaha Negara, dan di masa penjajahan Belanda atas Indonesia, peradilan adat (landraad) dan peradilan agama (priesterraad) tidak berpuncak pada Hooggerechtshof di Batavia, apalagi Hoge Raad di Lange Voorhout, Den Haag.

II.B.        Ajaran Trias Politica dalam Undang-undang Dasar 1945

Dalam Undang-undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) ketiga kekuasaan negara sebagaimana dimaksud oleh ajaran Trias Politica adalah (i) kekuasaan eksekutif yang dijalankan oleh Presiden (Pasal 4angka 1 UUD 1945) yang dibantu oleh seorang Wakil Presiden (Pasal 4 angka 2 UUD 1945), (ii) kekuasaan legislatif yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 B); dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung dan seluruh lembaga peradilan di dalam lingkungan Mahkamah Agung, yaitu peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan militer dan peradilan agama, serta oleh Mahkamah Konstitusi.

Ketiga kekuasaan utama yang menjadi sokoguru kehidupan bernegara tersebut dijalankan secara TERPISAH satu dari yang lain oleh lembaga-lembaga yang, berdasarkan konstitusi, dipisahkan pula satu dari yang lain, untuk menjamin (i) tidak terjadinya tumpang tindih (overlapping) antar kekuasaan negara; (ii) tidak adanya saling mempengaruhi antar lembaga penyelenggara kekuasaan negara; dan oleh karenanya, (iii) kemandirian, kebebasan dan kemerdekaan masing-masing lembaga penyelenggara kekuasaan negara tersebut untuk kepentingan para pemangku kepentingan, yaitu rakyat, dan menjamin hak asasi manusia dengan memperhatikan asas hukum dan unsur kepentingan itu sendiri.

Penyelenggaraan ketiga kekuasaan negara yang mandiri, bebas dan merdeka ini dinyatakan secara tegas dalam ketentuan-ketentuan hukum dalam UUD 1945, antara lain dalam:

(a)          Pasal 22E angka 1 dan angka 2 di mana Pemilihan Umum (i) anggota Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) anggota Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Presiden dan Wakil Presiden, dan (iv) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan secara langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Di masa lalu (khususnya di masa Orde Baru) Presiden dan Wakil Presiden tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

(b)        Pasal 7C yang tidak memungkinkan Presiden untuk membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, hal mana berbeda dengan kenyataan di masa lalu (masa Orde Lama) di mana Presiden membubarkan Konstituante (lembaga negara perwakilan rakyat).

(c)         Pasal 24 angka 1 dengan tegas mengatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dengan demikian, karena eksistensi kekuasaan legislatif (pembentuk undang-undang) dan kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang) adalah untuk mengatur dan menjamin hak-hak serta kepentingan SELURUH rakyat TANPA terkecuali, maka keuangan negara yang juga terkait erat dengan hak-hak kepentingan SELURUH rakyat TANPA terkecuali, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti halnya di negara-negara demokrasi yang modern lainnya (apakah berbentuk monarki konstitusional atau republik), sepenuhnya menjadi urusan Presiden selaku pelaksana kekuasaan eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat selaku pelaksana kekuasaan legislatif.

II.C.        Hukum Keuangan Negara Indonesia Menurut Ajaran Trias Politica

Dengan dianutnya ajaran Trias Politica oleh UUD 1945, maka secara konstitusional, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang harus disusun untuk sebesar-besarnya kemakmuran SELURUH rakyat TANPA terkecuali, menjadi kewenangan pemerintah (Presiden) sepenuhnya dan harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, tanpa melibatkan pelaksana kekuasaan kehakiman (Pasal 23 UUD 1945). Oleh karenanya sungguh logis jika hal-hal keuangan individu atau sekelompok orang yang mengadukan masalah yang ia hadapi dengan individu atau sekelompok orang lain, yang TIDAK mewakili kepentingan SELURUH rakyat TANPA terkecuali, kepada pelaksana kekuasaan kehakiman sesuai dengan amanat UUD 1945, yang menganut ajaran Trias Politica, tidak perlu melibatkan pelaksana kekuasaan legislatif ataupun pelaksana kekuasaan eksekutif dan, oleh karenanya, tidak pernah boleh dicampur-adukkan dengan keuangan negara yang merupakan hak dan menjadi kepentingan SELURUH rakyat TANPA terkecuali.

Oleh karenanya, tim perumus UUD 1945 dan pembuat undang-undang di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah dengan sangat tepat mengatur Keuangan Negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf h UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (“UU Keuangan Negara”), untuk dan harus dibaca secara bersama-sama dengan ketentuan-ketentuan dari UUD 1945 yang relevan dengan bunyi dari Pasal 2 huruf h UU Keuangan Negara itu sendiri, yaitu Pasal-pasal tentang keuangan negara, pemerintah, dan pemerintahan.

Pasal 2 huruf h UU Keuangan Negara berbunyi sebagai berikut:

Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi:

…………..

h.             kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan dan/atau untuk kepentingan umum;”

Arti dari kata kepentingan umum dalam Pasal 2 huruf h UU Keuangan Negara itu adalah SELURUH rakyat TANPA terkecuali, karena pemerintah harus menjalankan tugas-tugas konstitusionalnya dalam hal keuangan negara UNTUK SEBESAR-BESARNYA KEMAKMURAN RAKYAT sebagaimana disebut dalam Pasal 23 UUD 1945.

Lebih lanjut dalam UUD 1945, pokok-pokok tentang Keuangan Negara yang diatur dalam Bab VIII, mulai Pasal 23 hingga 23D. Pasal-pasal tentang Keuangan Negara dari UUD 1945 yang relevan dengan thema makalah ini adalah Pasal 23A dan 23C, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23A:

“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”

Pasal 23C:

“Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.”

Pasal 23C UUD 1945 inilah yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU Keuangan Negara, antara lain Pasal 23 huruf h.

III.           Biaya Perkara Peradilan

Dari kritik Baron de Montesquieu atas Monarki absolut di Perancis pada masa hidupnya, sampailah kita pada pembahasan mengenai biaya perkara peradilan di Indonesia yang latar belakang filosofis historisnya juga tidak akan pernah dapat dilepaskan dari sejarah monarki-monarki di Eropa dan ajaran Trias Politica.

III.A.      Sejarah Lahirnya Monarki Konstitusional Belanda Setelah Montesquieu

Dalam perang 80 (delapan puluh) tahun pemberontakan rakyat Belanda melawan kekuasaan Raja Phillip II dari Spanyol, putera Raja Charles V dari Kekaisaran Roma Suci (Holy Roman Empire) dari Dinasti Habsburg, rakyat Belanda memanggil Wilhelmus (Willem de Stilte atau William the Silent), Graaf van Nassau (Graf von Nassau atau Count of Nassau) dari garis keturunan Otto, yang mewarisi sebagian dari wilayah Graafschap (County) Nassau di Jerman, untuk memimpin perang.

René de Chalon yang mewarisi kepangeranan Orange (Oranje), suatu wilayah di bagian selatan Perancis modern, meninggal dunia tanpa anak dan mewariskan kepangeranan tersebut kepada keponakannya dari garis agnatic, yaitu Willem, Graaf van Nassau. Perdamaian Westphalia 1648 yang mengakui Republik Provinsi-provinsi Bersatu (Republic of the United Provinces), yang terdiri dari 7 (tujuh) provinsi berdaulat yaitu Holland, Zeeland, Utrecht, Friesland, Groningen, Overijssel dan Gelderland, mengakhiri perang 80 (delapan puluh) tahun tersebut.

Kepemimpinan Pangeran Willem van Oranje, Graaf van Nassau, sebagai Stadhouder atas Republik ini diturunkan dan diteruskan kepada seluruh keturunannya. Pada tahun 1672, Pangeran Willem III mewarisi kedudukan Stadhouder dan karena perkawinannya dengan Putri Mahkota (kemudian Ratu) Mary dari Dinasti Stuart (yang asalnya berkuasa di Skotlandia dan kemudian karena hubungan cognatic dengan Ratu Elizabeth I dari Dinasti Tudor, yang hingga akhir hayatnya tidak pernah menikah sehingga tidak memiliki Putra atau Putri Mahkota, berkuasa di Inggris [England]) menjadi raja di Inggris. Pangeran Willem III meninggal dunia tanpa anak sehingga jabatan Stadhouder di Belanda diserahkan kepada cucu keponakannya dari garis keturunan agnatic dari cabang Nassau-Dietz yang menjadi Pangeran Willem IV.

Ayah dari Pangeran Willem IV, Johan Willem Friso dari Dinasti Nassau-Dietz (putra dari Hendrik Casimir II dari Dinasti Nassau-Dietz, sepupu agnatic dari Pangeran Willem III, cucu dari Ernst Casimir dari Dinasti Nassau, cicit dari Willem de Stilte), juga mewarisi tahta atas kepangeranan Oranje dari Pangeran Willem III berdasarkan testamen (wasiat terakhirnya). Akan tetapi saudara jauhnya, Raja Frederick I dari Prussia dari keluarga Hohenzollern, yang sangat berpengaruh dan saat itu sangat dekat dengan penguasa Dinasti Habsburg yang begitu berkuasa dari Austria, juga menuntut warisan di Perancis tersebut atas dasar hubungan cognatic dengan Pangeran Willem III, karena ia dan Pangeran Willem III adalah cucu-cucu dari Stadhouder Belanda yang ketiga, yaitu Pangeran Frederik Hendrik, putra dari Stadhouder Belanda yang pertama, Willem de Stilte. Ia kemudian membuat kesepakatan dengan Dinasti Bourbon di Perancis bahwa wilayah kepangeranan Oranje akan diserahkan kepada Kerajaan Perancis asalkan gelar Pangeran Oranje (Prins van Oranje) diberikan kepada Pangeran Willem IV beserta seluruh keturunannya, Frans Luigi di Conti (Franc Louis de Conti) dan seluruh keturunannya, serta kepada dirinya dan seluruh keturunannya yang menjadi raja di Prussia. Pangeran Willem IV yang memerintah hanya selama 3 (tiga) tahun kemudian digantikan oleh putranya yang menjadi Pangeran Willem V.

Asal-usul Mengapa Konstitusi Belanda Menganut Ajaran Trias Politica

Pecahnya Revolusi Perancis yang mengakhiri hidup Raja Louis XVI dari Dinasti Bourbon dan istrinya Ratu Marie-Antoinette dari Dinasti Habsburg mengubah Perancis menjadi Republik dari tahun 1792 hingga tahun 1804. Pada tahun 1804, Jenderal Napoleon dari keluarga Bonaparte mengangkat dirinya menjadi Kaisar Perancis dan menyerbu Negeri Belanda dan kemudian pada tahun 1806 menempatkan adiknya, Louis Napoleon (Lodewijk Napoleon) menjadi raja di negara vassal yang disebut Koninkrijk Holland (waktu itu cara menulisnya adalah Koningrijk Holland). Raja Louis Napoleon kemudian mentransfer dan mempenetrasikan seluruh sistem hukum dan perundang-undangan Perancis ke negara vassal tersebut, termasuk sistem konstitusinya yang menganut ajaran Trias Politica murni dan juga Code Civil dan Code du Commerce. Code Civil dan Code du Commerce ini yang kemudian di Negeri Belanda menjadi Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel.

Pada tahun 1813 Kekaisaran pertama Perancis di bawah Dinasti Bonaparte ambruk sehingga putra dari Raja Louis Napoleon (Raja Louis Napoleon II), yang masih anak-anak dan memerintah di bawah perwalian ibunya (Ratu Hortense de Beauharnais), yang bertindak sebagai Regent, harus turun tahta. Pangeran Willem Frederik, putra dari Pangeran Willem V, Stadhouder terakhir dari Belanda, dan istrinya, Putri Wilhelmina dari Dinasti Hohenzollern di Prussia, kembali dari pengasingan di Inggris ke Negeri Belanda. Dari ayahnya ia mewarisi wilayah Fulda, Corvey, Dortmund, Stuttgart, Weingarten dan Beilstein di Jerman. Oleh rakyat Belanda, pada tahun 1813 ia diminta menjadi Soeverein Vorst (Pangeran Pemegang Kedaulatan) yang berdasarkan Kongres Vienna, yang juga mempersatukan wilayah Belanda Selatan yang dikuasai Dinasti Habsburg dari Austria, yaitu Belgia yang pada tahun 1830 memisahkan diri dari Belanda, ia dinobatkan menjadi raja Belanda yang pertama dengan gelar Raja Willem I. Warisannya di wilayah Jerman diserahkan kepada kakak iparnya, Raja Frederick Wilhelm dari Prussia, dan sebagai gantinya ia mendapatkan Luxembourg yang saat itu menjadi bagian dari Deustcher Bund.

III.B.       Trias Politica Dalam Konstitusi Belanda Sebelum Kemerdekaan Indonesia

Konstitusi Kerajaan Belanda (Grondwet voor het Koninkrijk der Nederlanden) pertama kali diberlakukan pada tahun 1814 dan diperbaiki pada tahun 1815. Konstitusi Kerajaan Belanda ini mengalami beberapa kali revisi, antara lain pada tahun 1830, saat Belgia memisahkan diri dari Kerajaan Kesatuan Belanda, dan membentuk pemerintahannya sendiri dengan memanggil Pangeran Leopold dari Dinasti Sachsen-Coburg und Gotha dari Jerman untuk menerima mahkota Belgia. Perubahan yang paling signifikan terjadi pada tahun 1848, satu tahun sebelum Raja Willem II mangkat. Perubahan yang dibidani oleh Johan Rudolf Thorbecke ini terjadi satu tahun setelah diundangkannya (diberlakukannya) beberapa peraturan perundang-undangan yang sangat penting berikut di bawah ini di Indonesia di bawah Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen (1845 – 1851) berdasarkan asas konkordansi:

(i)          Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesië  (Ketentuan Umum Perundang-undangan bagi Indonesia) atau disingkat “AB”;

(ii)          Burgerlijk Wetboek voor Indonesië (Kitab Undang-undang Hukum Perdata bagi Indonesia) atau disingkat “KUH Perdata”;

(iii)          Wetboek van Koophandel voor Indonesië (Kitab Undang-undang Hukum Dagang bagi Indonesia) atau dissingkat “KUHD”;

(iv)         Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (Reglemen Organisasi Kehakiman dan Kebijakan Peradilan) atau disingkat “RO”,

yang kesemuanya diberlakukan di Indonesia berdasarkan Staatsblad 1847 No. 23 juncto Staatsblad 1848 No. 57. Sedangkan Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Inlandsch Reglement, Reglement op de Uitoefening van de Politie, de Burgerlijke Rechtspleging en de Strafvordering onder Indonesiers en de Vreemde Oosterlingen op Java en Madoera, Afegkondigd bij Publicatie van 5 April 1848, Staatsblad No. 16, ingevolge Staatsblad 1848 – 57, in werking getreden op 1 Mei 1848, opnieuw bekend gemaakt bij Staatsblad 1926 – 559 en Staatsblad 1941 – 44) atau “HIR” diberlakukan pada tahun 1848.

Perubahan terpenting dari konstitusi Belanda ini adalah sebagai berikut:

(i)           pemberlakuan ketentuan mengenai pertanggung-jawaban para menteri sehingga para menteri bertanggung-jawab (verantwoordelijk) terhadap Staten-Generaal (parlemen), akan tetapi raja tidak dapat diganggu-gugat (de koning is onsechendbaar);

(ii)           pemilihan langsung Tweede Kamer, dewan kotapraja dan provinsial atas dasar hak pilih sensus;

(iii)          pemilihan tak langsung anggota Eerste Kamer;

(iv)          keterbukaan pertemuan-pertemuan dari seluruh organ-organ yang mewakili;

(v)          kemungkinan kedua kamar (Eerste Kamer dan Tweede Kamer) bubar dan dilakukan pemilihan umum ulang;

(vi)         hak angket Tweede Kamer;

(vii)        Eerste Kamer dan Tweede Kamer mendapatkan hak atas informasi;

(ix)       anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan secara tahunan, tidak dua tahunan, dengan demikian berlakulah hak amandemen;

(x)          parlemen  mendapatkan kewenangan yang lebih banyak terhadap kebijakan-kebijakan kolonial: laporan tahunan wilayah kolonial harus diajukan secara tahunan, raja tidak lagi menjadi satu-satunya penguasa tertinggi di wilayah kolonial;

(xi)         kebebasan dan hak atas pendidikan;

(xii)        kebebasan berserikat dan berkumpul;

(xiii)      raja tidak lagi memiliki pengaruh atas keputusan-keputusan Gereja Katholik Roma; dan

(xiv)       tata cara lain perubahan konstitusi.

III.C.       Kekuasaan Kehakiman Dalam Konstitusi Belanda Pra Kemerdekaan Indonesia

Sepanjang sejarah, sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, konstitusi Belanda tidak pernah mengubah-ubah ketentuan-ketentuan tentang kekuasaan kehakiman (rechterlijke macht), karena para politikus tidak merasa memiliki kepentingan untuk mencampuri wilayah yang menjadi kewenangan hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara atau masalah-masalah hukum anggota-anggota masyarakat secara individual. Kepentingan para politikus adalah kekuasaan pembentuk undang-undang (legislatif) dan kekuasaan pelaksana undang-undang (eksekutif), karena mempengaruhi hajat hidup SELURUH rakyat TANPA terkecuali, bukan kepentingan individu-individu.

Oleh karenanya dalam konstitusi Belanda, berkenaan dengan hal-hal yang diatur dalam lapangan hukum perdata, kekuasaan kehakiman secara tegas diatur dalam Pasal 112 yang berbunyi:

1.             Aan de rechterlijke macht is opgedragen de berechting van geschillen over burgerlijke rechten en over schuldvorderingen.

2.             De wet kan de berechting van geschillen die niet uit burgerlijke rechtsbetrekkingen zijn ontstaan, opdragen hetzij aan de rechterlijke macht, hetzij aan gerechten die niet tot de rechterlijke macht behoren. De wet regelt de wijze van behandeling en de gevolgen van de beslissingen.

Yang terjemahannya (oleh Penulis) adalah:

1.             Terhadap kekuasaan kehakiman ditetapkan penyelesaian sengketa-sengketa mengenai hukum kemasyarakatan[2] dan tuntutan-tuntutan keperdataan.

2.             Undang-undang dapat menetapkan penyelesaian sengketa-sengketa yang tidak terbit dari hubungan-hubungan hukum kemasyarakatan, apakah kepada kekuasaan kehakiman, ataukah kepada lembaga-lembaga peradilan yang bukan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman. Undang-undang mengatur tata cara penanganan dan akibat-akibat dari keputusan-keputusan pengadilan.

III.D.      Hukum Acara Peradilan Perdata Sebagai Wujud Kekuasaan Kehakiman

Berdasarkan ketentuan Pasal 112 inilah Kerajaan Belanda menetapkan hukum acara peradilan perdata dalam RV yang berlaku di Negeri Belanda dan di Indonesia bagi orang-orang Eropa dan yang dipersamakan dengan orang-orang Eropa (gelijkgestelden) yang berada di Indonesia. Di Indonesia, RV sebagai hukum acara peradilan dijalankan oleh Raad van Justitie (setingkat pengadilan negeri) dengan banding ke Hooggerechtshof (setingkat pengadilan tinggi) di Batavia, dan berpuncak atau bermuara ke Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) di Lange Voorhout, Den Haag.

Di Indonesia, bagi orang-orang Indonesia asli atau golongan Timur Asing (non-Tionghoa) disediakan peradilan adat (landraden) dan peradilan agama (priesterraden) yang tidak bermuara atau berpuncak di Hooggerechtshof di Batavia, apalagi ke Hoge Raad di Den Haag. Hukum acara perdata yang berlaku bagi peradilan adat di Indonesia adalah Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dan Het Rechtsreglement Buitengwesten (RBg).

Hal tersebut dikarenakan dua pertimbangan berikut buah-buah pemikiran Baron de Montesquieu dalam karyanya “De l’Esprit des Lois”, Livre XXIV: Des lois dans le rapport qu’elles ont avec la religion établie dans chaque pays, considérée dans ses pratiques et en elle-même (Hukum dalam hubungan yang dimilikinnya dengan agama yang hidup dalam setiap negara, dipertimbangkan dalam prakteknya dan pada dirinya sendiri), dan Livre XXV: Des lois dans le rapport qu’elles ont avec l’établissement de la religion de chaque pays et sa police extérieure (Hukum dalam hubungan yang dimilikinya dengan pengajaran agama dan kebijakan eksternalnya) yang kemudian diambil-alih dan diintrodusir dalam kodifikasi Code Civil atas perintah Kaisar Napoleon Bonaparte untuk menggenapi Codex Justitianus, yang kemudian oleh Raja Louis Napoleon diberlakukan di Negeri Belanda, dan tetap berlaku di Negeri Belanda setelah tahta Belanda beralih kepada Pangeran Willem Frederik (Raja Willem I) dari Dinasti Oranje-Nassau dan diberlakukan di Indonesia dengan asas konkordansi pada masa pemerintahan puteranya, Raja Willem II, melalui Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen.

III.E.       Hukum Acara Perdata Sebagai Tata Cara Menegakkan Hukum Perdata

Seluruh civil-law jurists (orang yang belajar hukum Eropa Kontinental) mengetahui dan memahami bahwa hukum acara (hukum formil) adalah sekumpulan aturan tertulis tentang tata cara menegakkan hukum substantif (hukum materiil). Dalam lapangan hukum perdata, karenanya penegakan hukum perdata materiil hanya dapat dilakukan melalui kewenangan lembaga pengemban kekuasaan kehakiman, maka di Indonesia, sesuai uraian di atas, hukum acara perdata yang berlaku adalah RV, HIR dan RBg.

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan diikuti dengan ditanda-tanganinya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, berakhirlah hubungan konstitusional antara Indonesia dengan Belanda. Hal ini berakibat bagi sistem peradilan di Indonesia di mana seluruh Raden van Justitie dan Hooggerechtshof dihapuskan dan hukum acara perdata yang berlaku bagi lembaga-lembaga peradilan tersebut tidak berlaku sepanjang berkenaan dengan tata cara peradilan menurut sistem KUH Perdata. Akan tetapi, menurut Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, seluruh aturan hukum jaman kolonial (termasuk HIR dan RBg) tetap berlaku sampai diadakan perubahannya. Untuk hal-hal yang luar biasa yang tidak diatur baik dalam HIR maupun RBg, lembaga peradilan masih dapat mengacu pada RV, karena pada hakekatnya KUH Perdata, yang hanya berlaku bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan, hanya dapat ditegakkan dengan RV.

III.F.       Sejarah KUH Perdata Indonesia

KUH Perdata (dan KUHD) Indonesia yang berlaku saat ini adalah warisan kolonialisme Belanda yang mulai berlaku di Indonesia pada tahun 1847. KUH Perdata adalah lex generali dari KUHD dan seluruh peraturan perundang-undangan di bidang hukum perdata. KUH Perdata memuat seluruh atau sebagian terbesar dari asas-asas terpenting dalam hubungan hukum antar sesama anggota masyarakat secara individual. Asas-asas hukum ini telah ada sejak dimulainya peradaban kota Roma yang didirikan oleh sepasang saudara kembar, Remus dan Romulus. Sama halnya dengan sejarah Belanda, Roma adalah sebuah Republik yang berubah bentuk menjadi Monarki pada jaman Julius Caesar, pendiri Dinasti Julian & Claudian. Diyakini oleh para sejarawan bahwa perubahan sistem pemerintahan Republik menjadi Monarki adalah karena pengaruh Ratu Cleopatra dari Mesir dan Alexander Agung dari Macedonia.

III.F.1.    Sistem KUH Perdata Berasal dari Kekaisaran Roma

Istilah Civil Law (sebagai lawan dari Common Law) berasal dari “ the laws of the civilians of Rome” atau hukum dari masyarakat (yang berbudaya) dari Roma. Perkembangan kebudayaan Roma(wi) tidak pernah dapat dilepaskan dari pengaruh para pemikir dan filsuf dari bangsa-bangsa yang memiliki peradaban tinggi yang seusia atau bahkan lebih tua daripada peradaban Roma(wi) di sekitar wilayah kekuasaan Roma, yaitu (i) Etrusca, (ii) Yunani, (iii) Mesir, (iv) Macedonia, (v) Mesopotamia dan (vi) Babylonia. Hukum masyarakat Roma ini pada saat itu tidak dikodifikasikan (tidak dibukukan) dan mulai dikodifikasikan pertama kali pada masa pemerintahan Kaisar Justinian dari Kekaisaran Romawi Timur yang berpusat di Constantinople (sekarang Istanbul), ibukota Kekaisaran Byzantium. Kekaisaran Romawi Timur adalah pecahan dari Kekaisaran Romawi Barat yang terpusat di kota abadi, Roma. Codex Justinian ini masih jauh dari sempurna.

III.F.2.   Negara-negara Eropa yang Tidak Mengenal Hukum Roma

Ekspansi bangsa Romawi ke seluruh penjuru Eropa mengubah hampir seluruh wajah kebudayaan benua tua itu. Dalam kehidupan etnis barbar, yaitu Iberia, Galia, Celtic, Germania (Ostrogoth, Visigoth, Angles, Saxon, Franks) mulai dipenetrasikan akal budi Latin. Penetrasi akal budi Latin ini sangat sukses di wilayah Iberia (sekarang Spanyol dan Portugal), Galia (sekarang Perancis), Helvetia (sekarang Swiss yang berbicara dalam bahasa Rhaeto-Romance) dan Dacia (sekarang Romania). Hukum Roma (Civil Law) diintrodusir di wilayah-wilayah tersebut bersamaan dengan penetrasi akal budi Latin. Walaupun ekspansi Romawi mencapai bagian utara dan barat laut Eropa, akan tetapi bangsa-bangsa Germania yang menghuni wilayah itu menolak penetrasi akal budi Latin, termasuk introduksi hukum Roma. Oleh para sejarawan, ekspansi Romawi diragukan telah mencapai wilayah Skandinavia yang dihuni bangsa Viking (sekarang Denmark, Swedia, Finlandia dan Norwegia) maupun wilayah Visegrad (sekarang Czech Republic, Slovakia, Hongaria), wilayah Baltic (sekarang Lithuania, Latvia dan Estonia), dan wilayah Slavia (Russia, Polandia, Belarus dan Ukraina). Sedangkan wilayah Britania (sekarang Inggris) ditinggalkan oleh tentara Romawi tidak lama setelah aneksasi, karena mereka dipanggil pulang oleh Jenderal Besar Julius Caesar untuk bertempur melawan pemberontak Scipio yang berbasis di Afrika Utara.

Bangsa Angles (cabang dari etnis Viking) dan bangsa Saxon (cabang dari etnis Germania) mengembara menyeberang lautan dan bertemu di tanah Inggris dan beramilasi di sana bersama dengan masyarakat setempat dan membentuk etnis Anglo-Saxon yang kemudian memiliki sistem hukum sendiri yang disebut “Common Law” atau “Anglo-Saxon Law”. Awalnya, tanah Inggris dikuasai oleh raja-raja dari Denmark hingga bangkitlah keluarga-keluarga bangsawan dari Inggris, yaitu Bruce, Stuart dan Tudor, yang walaupun mereka berhubungan keluarga, akan tetapi bersaing satu sama lain. Selama berabad-abad keluarga Bruce dan Stuart (Stewart) yang memegang teguh ajaran agama Katolik Roma secara murni bergantian menguasai tanah Skotlandia, sedangkan kerabat mereka, keluarga Tudor, menguasai Anglia (Inggris) dan Wales. Di bawah Raja Henry VIII dan keturunannya, wajah Monarki Inggris yang awalnya patuh pada ajaran murni Katolik Roma, berubah menjadi Anglican, kecuali pada masa pemerintahan Ratu Mary (Bloody Mary), anak sulung Raja Henry VIII dari permaisurinya, Ratu Catherina dari Aragon (Spanyol) yang Katholik Roma. Ratu Mary wafat pada usia 42 tahun tanpa anak dan digantikan oleh adik tirinya, Elizabeth I. Wafatnya Ratu Elizabeth I yang selama hidupnya tidak pernah menikah, mengakhiri kejayaan Dinasti Tudor dan membawa seluruh Britania Raya termasuk Irlandia di bawah kekuasaan Dinasti Stuart (Stewart) yang sudah mengganti agamanya dari Katholik Roma menjadi Protestan (Anglican), karena pengaruh Ratu Elizabeth I yang Anglican berhasil mengalahkan pengaruh saudara sepupunya, Ratu Mary dari Skotlandia yang Katholik Roma dan wafat karena dipenggal kepalanya, maupun pengganti Ratu Mary, Raja James.

Di wilayah timur Eropa, bangsawan-bangsawan dari Kiev dan Moscow serta Minsk mendirikan Dinasti Romanov yang kemudian menguasai seluruh tanah Russia, Siberia hingga Alaska. Negara-negara Baltic, Belarus dan Ukraina di Eropa Timur, Kazakstan, Turkmenistan, Uzbekistan, Tadzhikistan, Georgia, Azerbaidjan, Armenia juga ditundukkan di bawah Dinasti Romanov. Sedangkan di Skandinavia, Dinasti Vasa berkuasa di tanah Swedia dan Finlandia. Berdasarkan Perjanjian Kallmar, kekuasaan atas Norwegia silih berganti jatuh ke tangan para raja dari Swedia maupun Denmark. Keluarga-keluarga bangsawan kecil lainnya juga mulai bangkit dan bersaing berebut harta, pengaruh, wilayah dan kekuasaan.

III.F.3.   Pengaruh Gereja Terhadap Hukum Roma

Berkembangnya agama Kristen di Eropa adalah akhir dari kekuasaan Kekaisaran Romawi. Namun demikian, akal budi Latin dan sistem hukum Roma sudah berakar cukup kuat di banyak negara di Eropa pada saat itu. Keluarga-keluarga bangsawan paling terpandang di Eropa mulai bersaing satu sama lain berebut kekuasaan dan berusaha mendapatkan berkat dari Tahta Suci Roma. Keluarga Habsburg mulai mendirikan Kekaisaran Roma Suci yang berpusat di Vienna, dan berebut pengaruh dengan Dinasti-dinasti Perancis, yang diawali dengan Dinasti Carolingia, disusul Dinasti Capet, Valois dan Bourbon, di wilayah Iberia.

Di wilayah Kerajaan Perancis yang sangat Chauvenist, hukum Roma dan akal budi Latin berlaku sangat kuat, sekuat ajaran agama Katolik Roma. Dalam karyanya “De l’Esprit des Lois”, Livre XXIV: Des lois dans le rapport qu’elles ont avec la religion établie dans chaque pays, considérée dans ses pratiques et en elle-même (Hukum dalam hubungan yang dimilikinnya dengan agama yang hidup dalam setiap negara, dipertimbangkan dalam prakteknya dan pada dirinya sendiri), dan Livre XXV: Des lois dans le rapport qu’elles ont avec l’établissement de la religion de chaque pays et sa police extérieure (Hukum dalam hubungan yang dimilikinya dengan pengajaran agama dan kebijakan eksternalnya), Baron de Montesquieu mengungkapkan pendapatnya berdasarkan observasinya saat itu (dengan melihat sendiri fakta yang ada) bahwa agama Katolik Roma dan Katolik Orthodox (Gereja Katolik yang lahir di Kekaisaran Roma Timur (Byzantium) adalah agama negara Eropa dengan sistem Monarki (Perancis, Kekaisaran Roma Suci, Spanyol, Russia), sedangkan dengan melihat Belanda dan hubungan keluarganya dengan kerajaan Inggris dan para bangsawan Jerman, Baron de Montesquieu menganggap bahwa agama Protestan adalah agama yang tepat bagi negara Eropa dengan sistem pemerintahan Republik. Pandangan ini ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang ada sekarang.

III.F.4.   Hukum Roma di Negeri Belanda

Jatuhnya Dinasti Bourbon pada saat Revolusi Perancis dan bangkitnya Dinasti Bonaparte yang berkuasa di Perancis pada era singkat Kekaisaran pertama (1804 – 1815) membawa perubahan yang sangat besar pada wajah sistem hukum Roma. Kodifikasi hukum Roma berdasarkan Codex Justinianus disempurnakan secara gemilang di bawah perintah Kaisar Napoleon Bonaparte, dan inilah yang disebut dengan “Code Napoleon” atau “Code Civil des Français”. Revolusi Perancis juga menandai berakhirnya sistem Republik di Belanda saat Kaisar Napoleon Bonaparte meletakkan adiknya, Louis Napoleon I, menjadi raja pada negara yang disebut Koninkrijk Holland (atau saat itu cara menulisnya adalah Koningrijk Holland). Di bawah Louis Napoleon, Code Civil Perancis diintrodusir di wilayah Belanda dan itulah yang menjadi Burgerlijk Wetboek van het Koninkrijk der Nederlanden.

Saat ambruknya Kekaisaran pertama Perancis, ambruk pula kekuasaan Raja Louis Napoleon II, yang masih kanak-kanak dan hanya bertahta tidak sampai 1 (satu) bulan lamanya di bawah perwalian ibunya, Ratu Hortense de Beauharnaise, yang menjadi Regent. Sama seperti saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, di Belanda, saat Dinasti Oranje-Nassau, yang asal-usulnya dari Jerman, dikembalikan ke puncak kekuasaan dan Pangeran Willem Frederik, putra Stadhouder terakhir dari Republik di Belanda (Pangeran Willem V – Willem Batavus), menjadi Raja Willem I, seluruh lembaga dan aturan hukum warisan penjajah tetap berlaku sampai diadakan perubahannya. Dan saat itu pula sistem hukum Roma yang terdapat dalam Code Civil des Francais, Code du Commerce des Francais, Burgerlijk Wetboek voor het Koninkrijk der Nederlanden dan Wetboek van Koophandel voor het Koninkrijk der Nederlanden juga dinyatakan tetap berlaku.

III.F.5.   Hukum Perdata Dalam Sistem Ketata-Negaraan Belanda

Dalam sistem ketata-negaraan, selain Raja yang menjadi simbol kedaulatan negara dan simbol pemerintahan eksekutif, Belanda mengenal (i) lembaga yang pada tahun 1561 diperkenalkan oleh Kaisar Karel V dari Kekaisaran Roma Suci berfungsi sebagai penasehat pemerintahan setara Dewan Pertimbangan Agung (yang di Indonesia telah dihapuskan), yaitu Raad van State; (ii) lembaga legislatif yang disebut Staten-Generaal (terjemahan dari istilah dalam Bahasa Perancis: États-généraux); dan (iii) lembaga yudikatif (Hoge Raad) serta seluruh lembaga peradilan di bawahnya, yaitu Hof, Rechtbank atau Arrondissementsrechtbank dan Kantongerecht.

Pada hakekatnya, Raad van State dan pemerintah (regering) tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Raad van State bertugas memberi nasihat kepada pemerintah (lembaga eksekutif), baik diminta ataupun tidak diminta, akan tetapi pemerintah tidak terikat oleh nasihatnya. Kecuali ada revolusi rakyat atau perubahan yang luar biasa besar pada bentuk pemerintahan negara Belanda, tidak ada lembaga negara apapun yang dapat membubarkan Raad van State, karena Raad van State dikepalai Raja dan Putra/Putri Mahkota saat mencapai usia 18 tahun, menurut konstitusi menjadi anggota Raad van State, dan konstitusi Belanda mengatakan bahwa para menteri yang bertanggung-jawab pada Staten-Generaal sedangkan Raja tidak dapat diganggu-gugat.

Lembaga-lembaga negara di luar pengemban kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, seperti Algemene Rekenkamer (setara Badan Pengawas Keuangan) (dan sejak tahun 1982 Nationale Ombudsman) berfungsi sebagai pelengkap. Algemene Rekenkamer memeriksa atau mengaudit keuangan negara untuk tahun anggaran sebelumnya yang pada setiap hari Selasa ketiga bulan September (Prinsjesdag), rancangannya, yang disusun oleh pemerintah (lembaga eksekutif) dibacakan oleh Raja atau Ratu dari singgahsananya di Binnenhof di hadapan Staten-Generaal. Sedangkan Nationale Ombudsman yang berdiri sejak tahun 1982 bertugas menerima keluhan setiap anggota masyarakat atas tindakan pemerintah, yang mungkin dianggap bertentangan dengan undang-undang, dan kemudian Nationale Ombudsman melakukan investigasi dan melaporkannya kepada Staten-Generaal yang kemudian akan meminta pertanggung-jawaban pemerintah, bilamana tindakan pemerintah yang dilaporkan dianggap merugikan kepentingan umum atau SELURUH atau SEBAGIAN BESAR rakyat TANPA terkecuali.

Sistem ini diterapkan di Negeri Belanda sampai sekarang karena konstitusi Belanda menganut ajaran Trias Politica secara murni sehingga tidak memungkinkan adanya Mahkamah Konstitusi ataupun Peradilan Tata Usaha Negara seperti di Indonesia, karena, menurut ajaran Trias Politica murni yang dianut Negeri Belanda, lembaga yudikatif/pemegang kekuasaan kehakiman (rechterlijke macht) tidak boleh menguji undang-undang berdasarkan konstitusi (toetsingrecht) karena lembaga yudikatif/pemegang kekuasaan kehakiman tidak boleh duduk di kursi lembaga legislatif/pembentuk undang-undang (wetgever). Lembaga yudikatif/pemegang kekuasaan kehakiman juga tidak boleh memeriksa dan mengadili tindakan-tindakan pemerintah/lembaga eksekutif (regering), karena lembaga eksekutif bertanggung-jawab kepada Staten-Generaal selaku wetgever dan wakil SELURUH rakyat TANPA terkecuali. Kewenangan lembaga yudikatif/pemegang kekuasaan kehakiman menurut konstitusi hanyalah memeriksa dan mengadili perkara-perkara di bidang hukum perdata dan pidana yang hanya berkaitan dengan kepentingan anggota masyarakat secara individual dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karenanya, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang bebas dan merdeka dari campur tangan siapapun juga termasuk mengenai pemberian hukuman, karena bila kekuasaan kehakiman dicampuri oleh atau disatukan dengan kekuasaan eksekutif, maka akan terjadi kekuasaan despotisme dan dikatorial yang menindas hak asasi manusia, dan jika kekuasaan kehakiman dicampuri oleh atau disatukan dengan kekuasaan legislatif, maka akan terjadi kesewenang-wenangan di mana si pembuat undang-undang akan bertindak sebagai hakim yang (sesuai fungsinya) memeriksa, mengadili dan menghukum pelaksana undang-undang secara pidana atau perdata.

Ajaran Baron de Montesquieu tersebut dianut tidak saja dalam konstitusi, akan tetapi, karena ajaran ini meliputi juga ajaran mengenai atau terkait dengan kekuasaan kehakiman, diterapkan pula, sebagaimana halnya di Perancis maupun di Belanda, dalam sistem hukum pidana dan perdata, baik materiil maupun formil, yang menurut konstitusi, interpretasi dan penegakannya adalah kewenangan absolut kekuasaan kehakiman.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel diwariskan oleh Perancis, yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Baron de Montesquieu, kepada Belanda dan kemudian dibawa oleh Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen ke Indonesia atas perintah Raja Willem II, dan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dinyatakan tetap berlaku.

III.G.      Sistem KUH Perdata

KUH Perdata terdiri dari 4 (empat) buku, yaitu: (i) tentang perorangan dan kekeluargaan (van personen en familierecht); (ii) tentang kebendaan (van zaken), (iii) tentang perikatan (van verbindtenissen) dan (iv) tentang pembuktian dan daluwarsa (van bewijs en verjaring). Keempat buku ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ketentuan-ketentuan dalam buku kedua dan buku ketiga membentuk hukum harta kekayaan secara utuh yang memberikan hak subyektif absolut kepada setiap anggota masyarakat secara individual atau kelompok (sebagaimana diatur dalam buku pertama dan juga ada dalam buku ketiga) yang bila dilanggar, memberikan hak kepada yang dilanggar haknya untuk menuntut perbaikan kesalahan dan/atau ganti kerugian, yang harus dibuktikan dengan cara menggunakan buku keempat.

Cara-cara yang sah diberikan oleh hukum melalui ketentuan perundang-undangan adalah mengajukan tuntutan tersebut ke lembaga yang menurut konstitusi diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili setiap perselisihan di antara anggota masyarakat secara individual, yaitu lembaga yudikatif. Tata cara penyelesaian perselisihan ini disebut hukum acara, dan hukum acara lembaga pengadilan adalah domain lembaga pengadilan sepenuhnya yang tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun, kecuali jika bertentangan dengan konstitusi, dan oleh karenanya merupakan kewenangan lembaga legislatif untuk memperbaikinya.

III.G.1.   Pengertian Perkara Perdata Dalam Sistem Hukum Acara Perdata

Sistem hukum acara perdata, yang harus dijalankan oleh lembaga pengemban kekuasaan kehakiman, mengenal 2 (dua) jurisdiksi, yaitu (i) jurisdiksi contentius dan (ii) jurisdiksi voluntair. Seluruh perkara gugatan yang berakar dari adanya sengketa di antara anggota-anggota masyarakat secara individual termasuk dalam jurisdiksi contentius. Sedangkan seluruh perkara permohonan yang tidak berakar dari adanya sengketa di antara anggota-anggota masyarakat secara individual termasuk dalam jurisdiksi voluntair. Putusan-putusan yang dijatuhkan dalam jurisdiksi contentius semuanya bersifat memberikan penghukuman (condemnatoir) dan menetapkan pihak(-pihak) yang menang dan pihak(-pihak) yang kalah. Putusan-putusan yang dijatuhkan dalam jurisdiksi voluntair semuanya bersifat deklaratif atau menyatakan tentang suatu keadaan tanpa menetapkan adanya pihak(-pihak) yang menang dan pihak(-pihak) yang kalah. Perkara kepailitan adalah hal yang istimewa, di mana jurisdiksi contentious dan juridiksi voluntair bertemu pada suatu titik yang sama, sehingga:

(i)            walaupun diawali dengan adanya perselisihan mengenai hutang piutang (schuldvorderingen), yang dimohonkan pailit adalah harta debitor, bukan orangnya, walaupun kepailitan atas hartanya berakibat hukum terhadap debitor;

(ii)           tidak ada sengketa apapun mengenai (a) jumlah utang, (b) jumlah kreditor dan (c) kapan hutang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, kalaupun ada sengketa tersebut, sengketanya harus diperiksa dan diputus secara cepat demi kepentingan seluruh kreditor; dan oleh karenanya

(iii)          produk hukum yang dihasilkan oleh pengadilan adalah keputusan yang bersifat constitutief atau menyatakan terjadinya suatu keadaan baru (dengan demikian, produknya disebut Putusan Pernyataan Pailit, bukan Putusan Pailit ataupun Penetapan Pailit); dan

Dengan ditanda-tanganinya dan diratifikasinya Agreement Establishing the World Trade Organization, Indonesia terikat pada ketentuan-ketentuan dalam Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), di mana menurut ketentuan Pasal 50 (provisional measures inaudita altera parte), Indonesia harus mengatur hak-hak dari orang-orang yang merasa hak atas kekayaan intelektual-nya dilanggar orang lain, untuk memohon kepada pengadilan agar dikeluarkannya suatu penetapan sementara, sekalipun tanpa adanya perkara atau sengketa terlebih dahulu yang mendasarinya, untuk mengumpulkan bukti dugaan pelanggaran tersebut. Hal ini sebanding dengan prosedur pemeriksaan terhadap perseroan terbatas berdasarkan pasal 138 Undang-undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas.

III.G.2.   Pengertian Sengketa Menurut Hukum Perdata

Dalam lapangan Hukum Perdata, sengketa terbit karena (a) wanprestasi (wanpraestatie) atau (b) perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Wanprestasi adalah pelanggaran janji-janji yang sudah disepakati dengan itikad baik dalam suatu persetujuan, baik tertulis maupun lisan, yang harus dilaksanakan dengan itikad baik. Perbuatan melawan hukum, secara sederhana, dapat didefinisikan sebagai suatu perbuatan, baik sengaja atau tidak (karena kelalaian), yang dilakukan oleh seseorang atau orang lain atau binatang yang berada di bawah pengawasan atau kekuasaan seseorang tersebut yang melawan hak-hak orang lain atau kewajiban hukumnya dalam kehidupan bermasyarakat yang patut dan santun, atau yang diakibatkan suatu barang yang berada di bawah pengawasan atau kekuasaan seseorang, yang membawa akibat kerugian bagi orang lain, sehingga karena salahnya, si pelaku perbuatan melawan hukum HARUS mengganti kerugian (schade vergoeden) yang diderita (geleden) orang yang menjadi korban perbuatan melawan hukum tersebut, baik kerugian atas hilangnya atau rusaknya harta kekayaan atau nama baik, maupun kerugian karena kehilangan keuntungan yang diharapkan (verlies van gederfde winst). Selain daripada itu, si pelaku perbuatan melawan hukum atau orang yang bertanggung-jawab juga HARUS membayar bunga (interessen) dan biaya (kosten).

Dijatuhkannya hukuman berupa pembayaran (i) ganti kerugian, (ii) biaya dan (iii) bunga ini (schade, kosten en interessen) mutlak adalah kewenangan lembaga pengemban kekuasaan kehakiman yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang berkenaan atau bersumber dari hukum kemasyarakatan (hukum yang mengatur hubungan hukum antar anggota masyarakat secara individual) dan bukan hukum kenegaraan (hukum yang mengatur kepentingan SELURUH rakyat TANPA terkecuali).

Sebelum kodifikasi Napoleon, pembebanan biaya perkara tidak pernah ada, karena di jaman yang masih amat sangat sederhana tersebut, di Perancis penyelesaian sengketa tidak memerlukan biaya apapun juga. Namun demikian, setelah mengeluarkan uang yang cukup banyak dari warisan baik dari ayah maupun ibunya untuk membiayai penelitian dan penyusunan karya agung selama 20 (duapuluh) tahun lamanya, Baron de Montesquieu melihat bahwa sesuai dengan tuntutan jaman, dengan semakin kompleksnya permasalahan dan semakin sulitnya perjalanan untuk mencapai penyelesaian masalah tersebut, sudah sewajarnya jika lembaga pemegang kekuasaan kehakiman, dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang diajukan oleh anggota-anggota masyarakat secara individual ataupun secara kelompok kecil, membayar biaya-biaya yang terbit sehubungan dengan upayanya menyelesaikan masalahnya sendiri, yang kemudian, dalam hal yang diadili adalah perkara sengketa, biaya tersebut harus dibebankan kepada yang kalah sebagai suatu penghukuman atas segala kesalahannya yang secara potensial maupun aktual merugikan orang lain.

III.F.       Ajaran Baron de Montesquieu Berkenaan Dengan Biaya Perkara

Karya agung Baron de Montesquieu yang disusun selama 20 (duapuluh) tahun lamanya itu, “De l’Esprit des Lois”, mengajarkan landasa-landasan mengenai penerapan biaya perkara yang dapat dijumpai dalam Livre XXVIII: De l’origine et des révolutions des lois civiles chez les Français (Asas-usul perubahan hukum kemasyarakatan Perancis), Chapitre XXXV: Des dépens (Biaya Perkara):

Anciennement en France, il n’y avait point de condamnation de dépens en cour laie. La partie qui succombait était assez punie par des condamnations d’amende envers le seigneur et ses pairs. La manière de procéder par le combat judiciaire faisait que, dans les crimes, la partie qui succombait, et qui perdait la vie et les biens, était punie autant qu’elle pouvait l’être; et, dans les autres cas du combat judiciaire, il y avait des amendes quelquefois fixes, quelquefois dépendantes de la volonté du seigneur, qui faisaient assez craindre les événements des procès. Il en était de même dans les affaires qui ne se décidaient que par le combat. Comme c’était le seigneur qui avait les profits principaux, c’était lui aussi qui faisait les principales dépenses, soit pour assembler ses pairs, soit pour les mettre en état de procéder au jugement. D’ailleurs, les affaires finissant sur le lieu même, et toujours presque sur-le-champ, et sans ce nombre infini d’écritures qu’on vit depuis, il n’était pas nécessaire de donner des dépens aux parties.

C’est l’usage des appels qui doit naturellement introduire celui de donner des dépens. Aussi Desfontaines dit-il que, lorsqu’on appelait par loi écrite, c’est-à-dire quand on suivait les nouvelles lois de saint Louis, on donnait des dépens; mais que, dans l’usage ordinaire, qui ne permettait point d’appeler sans fausser, il n’y en avait point; on n’obtenait qu’une amende, et la possession d’an et jour de la chose contestée, si l’affaire était renvoyée au seigneur.

Mais, lorsque de nouvelles facilités d’appeler augmentèrent le nombre des appels  ; que, par le fréquent usage de ces appels d’un tribunal à un autre, les parties furent sans cesse transportées hors du lieu de leur séjour; quand l’art nouveau de la procédure multiplia et éternisa les procès; lorsque la science d’éluder les demandes les plus justes se fut raffinée; quand un plaideur sut fuir, uniquement pour se faire suivre; lorsque la demande fut ruineuse, et la défense tranquille; que les raisons se perdirent dans des volumes de paroles et d’écrits; que tout fut plein de suppôts de justice qui ne devaient point rendre la justice; que la mauvaise foi trouva des conseils, là où elle ne trouva pas des appuis; il fallut bien arrêter les plaideurs par la crainte des dépens. Ils durent les payer pour la décision, et pour les moyens qu’ils avaient employés pour l’éluder. Charles le Bel fit là-dessus une ordonnance générale.

Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia (oleh Penulis) adalah sebagai berikut:

Di masa lalu di Perancis, tidak ada alasan menjatuhkan hukuman mengenai biaya perkara pengadilan. Pihak yang kalah harus dihukum dengan hukuman denda kepada pangeran dan majelisnya. Dari tata cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan setelah masa itu di mana pihak yang kalah dihukum dan dikurangi hak hidup dan kekayaannya, harus dihukum sebanyak mungkin yang ia dapat tanggung: dan dalam hal-hal lain berkenaan dengan penyelesaian sengketa di pengadilan, ada denda-denda yang kadang-kadang bernilai tetap, dan kadang-kadang tergantung dari kebijaksanaan sang pangeran, yang cukup membuat orang takut akan akibat dari diajukannya gugatan. Hal itu dapat dikatakan sebagai hal-hal yang tidak diputuskan oleh pengadilan. Karena sang pangeran mendapatkan pemasukan terbesar, maka ia juga harus membuat pengeluaran terbesar, apakah dengan cara mengumpulkan majelisnya, atau untuk memungkinkan mereka mengambil putusan. Selain daripada itu, karena sengketa-sengketa pada umumnya ditentukan di tenpat yang sama, dan hampir selalu pada waktu yang sama, dan tanpa pemikiran-pemikiran akademis yang mengikuti sesudahnya, maka tidak ada pentingnya membebankan biaya perkara kepada para pihak.

Kelaziman upaya hukum banding (dan kasasi) secara alamiah mengintrodusir dibebankannya biaya perkara. Oleh karenanya Desfontaines juga mengatakan bahwa “ketika mereka mengajukan upaya hukum menurut hukum tertulis, yaitu, ketika mereka mengikuti hukum baru dari Santo Louis, mereka harus membayar biaya perkara; akan tetapi hal tersebut dalam praktek pada umumnya, yang tidak memperbolehkan mereka mengajukan upaya hukum banding (dan kasasi) tanpa memalsukan putusan, tidak ada biaya perkara yang dibebankan. Mereka hanya dihukum, dan memiliki hak selama satu tahun dan satu hari atas hal yang diperlawankan, jika alasannya disampaikan kepada pangeran.

Akan tetapi, ketika jumlah upaya hukum banding (dan kasai) meningkat dengan adanya fasilitas baru untuk mengajukan upaya hukum banding (dan kasasi) tersebut; ketika dengan seringnya menggunakan upaya hukum banding (dan kasasi) dari satu pengadilan ke pengadilan lain (yang lebih tinggi), para pihak kemudian secara terus menerus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dari tempat kediamannya; ketika metode tata cara persidangan yang baru mulai berlipat ganda dan memperlama jalannya persidangan; ketika seni menginterpretasikan tuntutan-tuntutan yang paling adil mulai disempurnakan; ketika para pihak yang bersengketa mulai belajar dan mengerti cara menangkis atau melawan untuk diikuti pihak lawannya; ketika gugatan-gugatan mudah hancur sedangkan pembelaan diri menjadi begitu mudahnya; ketika argumen-argumen hilang secara keseluruhan kata dan tulisannya; ketika kerajaan mulai dipenuhi segala upaya perongrongan wibawa hukum, yang sama sekali tidak dikenal oleh lembaga peradilan; ketika ketidak-jujuran dan tipu muslihat mendapatkan dukungan di tempat yang tepat di mana ia tidak mendapatkan perlindungan; maka sudah sangat perlu untuk membuat pihak-pihak yang berseengketa menjadi takut akan biaya perkara. Mereka wajib membayar biaya untuk putusan pengadilan dan biaya untuk segala sarana yang mereka gunakan untuk mendapatkannya. Charles yang Baik membuat aturan umum mengenai hal tersebut.

Diserapnya ajaran Baron de Montesquieu mengenai biaya perkara ini oleh dan ke dalam KUH Perdata, dapat dijumpai antara lain pada Pasal-pasal 1139 angka 1, 1149 angka 1 (gerechtskosten uitsluitend veroorzaakt door uitwinning van goederen), 1243 – 1248 (wanpraestatie), 1267 (wanpraestatie) dsb, dan juga dalam KUHD, antara lain dalam Pasal 80 juncto Pasal 82.

Dengan demikian, dalam konteks jurisdiksi contentious (dan semi contentious, sebagaimana juga dalam konteks jurisdiksi voluntair) jelaslah bahwa Biaya Perkara, adalah jumlah uang yang harus dibayar oleh pihak yang bermaksud mempertahankan haknya dengan mengajukan masalahnya melalui mekanisme gugatan (atau permohonan pernyataan pailit atau permohonan suatu penetapan – jurisdiksi voluntair), atau oleh pihak yang bermaksud membela diri dari gugatan tersebut, demi kepentingan masing-masing pihak secara individual, BUKAN demi kepentingan SELURUH rakyat TANPA terkecuali, sebagaimana halnya dalam keuangan negara, yang oleh karenanya sudah secara logis harus ditanggung oleh pihak yang kalah karena itu merupakan hukuman yang harus diterimanya karena kesalahannya.

III.G.      Biaya Perkara Menurut Hukum Acara

Dengan mengecualikan RV, pembahasan hanya difokuskan pada ketentuan mengenai biaya perkara menurut HIR (dan RBg) sebagai aturan hukum mengenai tata cara penegakan hukum substantif/materiil yang diatur dalam KUH Perdata dan KUHD.

Latar belakang pemikiran pembentuk undang-undang di Negeri Belanda pada waktu itu adalah ajaran Baron de Montesquieu yang dianut dalam konstitusi Belanda saat itu dan sekarang, maupun di Indonesia saat ini, dan oleh karenanya kewenangan lembaga pengemban kekuasaan kehakiman untuk menjatuhkan biaya perkara sebagai penghukuman diletakkan dalam Pasal 181 HIR, yang rinciannya diatur dalam Pasal 182. Pada saat putusan diucapkan (secara lisan), biaya perkara tidak pernah disebutkan karena belum diketahui jumlahnya, akan tetapi baru akan dicantumkan dalam vonnis (putusan) tertulis setelah dihitung oleh Panitera yang juga bertanggung-jawab atas pennulisan vonnis (putusan) tertulis tersebut.

Pasal 181 HIR berbunyi:

1.             Al wie bij het vonnis in het ongelijk gesteld wordt, zal in de kosten verwezen worden. Echter zullen de kosten in het geheel of ten deele gecompenseerd mogen worden tusschen echtgenooten, bloedverwanten in de rechte linie, broeders en zusters of aangehuwden in denzelfden graad, mitsgaders indien de partijen over en weder op enige punten in het ongelijk zijn gesteld.

2.             Bij voorlopige beslissingen en andere, die het eindvonnis voorafgaan, kan de uitspraak over de kosten tot het eindvonnis worden voorbehouden.

3.             De kosten op een bij verstek gewezen vonnis gevallen, komen ten laste van de veroordeelde, ook al mocht hij gelijk zijn gesteld, ten ware de behandeling van het verzet of hooger beroep mocht blijken, dat hij niet behoorlijk was opgeroepen.

4.             In het geval, bedoeld bij artikel 127, komen de kosten veroorzaakt door de nadere oproeping van de niet verschenen gedaagden, ten hunnen laste, ook al mochten zij in het gelijk worden gesteld, tenzij zij niet behoorlijk ter eerste terechtzitting mochten zijn opgeroepen.

Pasal 182 HIR berbunyi:

De veroordeling in de kosten kan zich niet verder uitstrekken dan tot:

1.             de griffierechten en de kosten der in het proces benoodigde zegels;

2.             de kosten van getuigen, deskundigen en tolken, die van hunne beëdiging daaronder begrepen, met dien verstande dat de partij, die meer dan vijf getuigen over hetzelfde feit zal hebben doen hooren, de kosten der verdere getuigenissen aan hare wederpartij niet zal kunnen in tekening brengen;

3.             de kosten van plaatselijke opnemingen en andere gerechtelijke verrichtingen;

4.             de salarissen van de beambten, met het doen van oproepingen, aanzeggingen en andere exploiten belast;

5.             de kosten, vermeld in artikel 138 zesde lid;

6.             het aan de griffier of andere beambten ter zake van de executie van het vonnis verschuldigde salaris; alles volgens de bestaande of nader door den Gouverneur-Generaal vast te stellen verordeningen en tarieven.

Yang terjemahannya dalam Bahasa Indonesia (oleh Penulis) adalah sebagai berikut:

Pasal 181:

1.             Terhadap pihak yang kalah dalam putusan, biaya perkara harus dibebankan. Akan tetapi biaya-biaya ini sepenuhnya atau sebagian dapat dikompensasikan di antara suami dan istri, keluarga sedarah dalam garis lurus, kakak dan adik atau para ipar dalam derajat yang sama, secara bersama-sama bilamana para pihak dalam hal-hal tertentu dikalahkan.

2.             Pada putusan-putusan sementara dan lainnya, yang mendahului putusan akhir, dalam pengucapan putusannya dapat ditetapkan biaya putusan akhir.

3.             Biaya-biaya yang termuat dalam putusan-putusan verstek (tanpa dihadiri tergugat), menjadi beban pihak yang diadili, juga sekalipun ia menang, kecuali bilamana dalam penanganan bantahan atau upaya hukum banding (atau kasasi) terbukti bahwa ia tidak telah dipanggil secara patut.

4.             Dalam hal yang disebut dalam Pasal 127, biaya-biaya yang disebabkan oleh pemanggilan lanjutan dari para tergugat yang tidak hadir, dibebankan kepada mereka semua, juga sekalipun mereka menang, kecuali jika mereka tidak dipanggil secara patut ke persidangan pertama.

Pasal 182:

Penghukuman atas biaya perkara tidak boleh melebihi:

1.             upah tulis panitera dan biaya-biaya meterai yang perlu untuk proses beracara;

2.             biaya-biaya saksi-saksi, para ahli dan juru penterjemah, yang diperiksa di bawah sumpah mereka, dengan pengertian bahwa pihak, yang mengajukan lebih daripada lima saksi untuk didengar untuk satu hal yang sama, tidak dapat mengajukan pembebanan biaya untuk saksi-saksi selebihnya pada pihak lawannya;

3.             biaya-biaya pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan kehakiman lainnya;

4.             upah para pejabat yang dibebani tugas melakukan pemanggilan, pengumuman dan berita-berita acara lainnya;

5.             biaya-biaya yang disebut dalam Pasal 138 ayat pertama;

6.             upah yang terhutang pada panitera atau pejabat-pejabat lain mengenai pelaksanaan putusan; segala sesuatunya sesuai dengan peraturan-peraturan dan tarif yang telah atau akan ditetapkan oleh Presiden.

Biaya perkara tidak diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu Undang-undang No. 5/2004 tentang MahkamahAgung dan Undang-undang No. 8/2004 tentang Peradilan Umum yang bukan merupakan kitab undang-undang hukum acara, melainkan hanya mengatur lembaga peradilan, maupun Undang-undang No. 9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang tidak relevan dengan HIR.

IV.           Pengawasan Pengelolaan Biaya Perkara

Pada hakekatnya, karena biaya perkara bukan bagian dari keuangan negara menurut ketentuan hukum atau perundang-undangan apapun juga, karena biaya perkara adalah urusan para pihak yang berperkara, maka tidak ada lembaga negara manapun juga atau pihak manapun, kecuali para pihak yang berperkara itu sendiri yang harus mengawasi pengelolaan uang yang telah dikeluarkannya untuk biaya perkara.

Apakah masih ada jalan untuk melakukan kontrol konstitusional oleh lembaga negara atau kontrol masyarakat oleh sekelompok anggota masyarakat yang tidak mewakili pihak yang berperkara? Jawabnya tidak ada, sebagaimana uraian di bawah ini.

IV.A        Kontrol Konstitusional

Kontrol konstitusional yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pemegang dan penyelenggara kekuasaan negara diatur dalam UUD 1945, antara lain dalam:

(a)          Pasal 7A yang mengatur bahwa atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawatan Rakyat dapat memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden.

(b)          Pasal 7B yang mengatur bahwa usulan tersebut dalam Pasal 7A, hanya dapat dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi, salah satu penyelenggara kekuasaan yudikatif, memeriksa dan mengadili Presiden atau Wakil Presiden, yang diduga melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A dan 7B, dan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat itu telah dijatuhkan.

(c)           Pasal 20A yang mengatur secara tegas fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (vide angka 1) dan hak-hak lain yaitu hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat (vide angka 2).

Kontrol konstitusional yang dilakukan oleh lembaga negara yang bukan lembaga pemegang dan penyelenggara kekuasaan negara diatur dalam UUD 1945, antara lain dalam:

(a)          Pasal 23E yang mengatur secara tegas kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri dalam menjalankan fungsinya memeriksa keuangan negara.

(b)          Pasal 24B yang mengatur secara tegas kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran dan martabat serta perilaku Hakim.

Dalam hal pengelolaan biaya perkara yang menjadi tanggung jawab Panitera (bukan Hakim), tidak pada tempatnya jika Komisi Yudisial melakukan kontrol konstitusional.

Kontrol konstitusional baik oleh ketiga lembaga pemegang dan penyelenggara kekuasaan bernegara (eksekutif – Pemerintah yang dijalankan oleh Presiden, legislatif yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat maupun yudikatif yang dijalankan oleh Kekuasaan Kehakiman [Mahkamah Agung dan seluruh lembaga peradilan dalam lingkungan Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi]) satu terhadap yang lain, maupun oleh lembaga-lembaga negara yang didirikan berdasarkan UUD 1945 terhadap ketiga lembaga pemegang dan penyelenggara kekuasaan bernegara itu TETAP harus dilaksanakan berdasarkan prinsip PEMISAHAN KEKUASAAN (séparation de pouvoirs/separation of powers) dan KETERGANTUNGAN EKSISTENSI SATU SAMA LAIN (dependency of one upon the other’s existence) untuk menjamin tidak adanya excess de pouvoirs atau excess of powers oleh masing-masing lembaga.

IV.B.       Kontrol Masyarakat

Pasal 28F UUD 1945, yang merupakan bagian dari Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, mengatur secara tegas bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Hal menjalankan kontrol masyarakat melalui komunikasi dan memperoleh informasi harus dilakukan untuk pengembangan pribadi dan pengembangan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, harus dipahami bahwa akses ke informasi ini hanya dapat dijalankan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan peningkatan potensinya sebagai insan manusia dan untuk tujuan pengembangan pengetahuan masyarakat. Karena Bab XA mengatur Hak Asasi Manusia, dan khususnya Pasal 28F mengatur Hak Asasi Manusia atas Pendidikan, maka Pasal 28F harus dibaca bersama-sama dengan ketentuan Pasal 19, 26.2 dan 29.1 dari the 1948 United Nations Universal Declaration of Human Rights, karena Indonesia adalah negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 19, 26.2 dan 29.1 dari the 1948 United Nations Universal Declaration of Human Rights tersebut berbunyi sebagai berikut:

Article 19.

Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.

Article 26.

(1)           …………………………….

(2)           Education shall be directed to the full development of the human personality and to the strengthening of respect for human rights and fundamental freedoms. It shall promote understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or religious groups, and shall further the activities of the United Nations for the maintenance of peace.

(3)           ……………………………..

Article 29.

(1)           Everyone has duties to the community in which alone the free and full development of his personality is possible.

(2)           In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.

(3)           These rights and freedoms may in no case be exercised contrary to the purposes and principles of the United Nations.

Segala tuntutan sekelompok orang yang mengatas-namakan kepentingan umum untuk menuntut dibeberkannya suatu informasi mengenai biaya perkara berdasarkan Undang-undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (“UU Keterbukaan Informasi Publik”), hendaknya dilaksanakan:

(i)            sesuai amanat UU Keterbukaan Informasi Publik itu sendiri yang tidak pernah dapat dilepaskan dari Pasal 28 F dan 28 J UUD 1945 (vide  konsiderans, bagian “Mengingat”) yang NYATA-NYATA sama dengan Pasal-pasal 19, 26 dan 29 dari the 1948 United Nations Universal Declaration of Human Rights tersebut di atas; dan

(ii)           memahami etika dan tata cara hidup bermasyarakat dan bernegara sesuai amanat UUD 1945 yang tidak pernah dapat dilepaskan dari ajaran Baron de Montesquieu sebagaimana telah diuraikan secara panjang lebar di atas.

Dengan demikian setiap kontrol masyarakat yang dijalankan (i) TIDAK untuk tujuan pengembangan pribadi (development of personality) dalam rangka pendidikan (education) demi kepentingan lingkungan sosialnya (community), hal mana justru merupakan kewajiban pelaksana kontrol masyarakat tersebut terhadap masyarakat luas, (ii) TIDAK menciptakan suasana yang dipenuhi rasa saling mengerti (understanding), toleransi (tolerance) dan persahabatan (friendship), sehingga (iii) TIDAK menciptakan kedamaian (peace), dan cara menjalankan kontrol masyarakat tersebut (iv) TIDAK mematuhi batasan-batasan yang ditetapkan oleh hukum dan peraturan perundang-undangan semata-mata untuk tujuan menjamin pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi kebutuhan yang adil akan moralitas (just requirements of morality), ketertiban umum (public order) dan kesejahteraan umum (general welfare) dalam masyarakat yang demokratis (democratic society), seperti yang banyak diumumkan dan disebar-luaskan ke berbagai media massa, baik media elektronik, media cetak maupun di dunia maya (Internet), sungguh perbuatan yang (a) tidak konstitusional, (ii) bertentangan dengan makna dan semangat Hak Asasi Manusia itu sendiri, dan (iii) dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) bilamana ada pihak yang dirugikan karenanya.

Dengan demikian, untuk menjawab Pokok Permasalahan apakah dengan demikian Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan atas biaya perkara di lingkungan Mahkamah Agung, maka Nara Sumber menganjurkan agar Pasal 2 huruf h UU Keuangan Negara dibaca sesuai dengan amanat UUD 1945 tentang (i) pemisahan kekuasaan penyelenggara negara, (ii) Kekuasaan Pemerintahan Negara, (iii) Keuangan Negara dan (iv) batas-batas Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan.

PRAHASTO W. PAMUNGKAS

aka BROERIE WAHJUDI ©2008


[1] Pada saat Baron de Montesquieu menyampaikan pemikirannya tentang ajaran séparation des pouvoirs/separation of powers dalam karyanya De L’Esprit des Lois 1758 (On the Spirit of the Laws 1758), ia membagi masyarakat Perancis pada masa ia hidup menjadi 3 (tiga) kelas (Trias Politica), yaitu Monarki, Aristokrasi dan Rakyat. Baron de Montesquieu melihat adanya dua sistem pemerintahan (regering), yaitu Sovereign atau Pemegang Kedaulatan, yang pada masa itu adalah Raja Perancis, dan kekuasaan administratif. Kekuasaan administratif terdiri dari dan dijalankan oleh: kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif, yang harus dipisahkan satu dari yang lain, akan tetapi keberadaannya tergantung satu sama lain. Pemisahan kekuasaan ini dimaksudkan agar tidak ada tidak ada satu kekuasaan administratif yang melampaui kedua kekuasaan administratif yang lainnya, baik tunggal atau gabungan dari keduanya (excess de pouvoir).


[2] Hukum yang mengatur hubungan hukum antar anggota masyarakat secara individual.

From → Uncategorized

2 Comments
  1. YDL permalink

    Good read! Thank you for sharing.

  2. ilmu ga akan dilupa

Leave a comment